Ngardi Bali Shanti lan Jagadhita | DPT Pilkada 2024 Provinsi Bali 3.283.893 | Cek DPT Online Klik disini

Publikasi

Opini

Denpasar, bali.kpu.go.id - Kalau kita berbicara tentang gerenasi itu sebenarnya tidak hanya Generasi Z, ada Generasi Baby Boomers, Generasi X dan juga Y. Saat ini memang populasi Generasi Z untuk meramaikan Pemilu 2024 itu besar, boleh dibilang ini adalah generasi milenial pemilih pemula jumlahnya kalau dihitung-hitung, sekitar 60% hari ini adalah generasinya milenial. Gen Z ini tidak selalu menjadi objek pemilu atau politik, tapi sebenarnya mereka juga menjadi subjek dalam artian  turut menjadi penentu bagian dari sukses atau tidaknya Pemilu. Dan KPU pun sebenarnya sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu juga sebaiknya mengaktifkan peran serta mereka, ajak mereka, rangkul mereka dan jangan lupa dekati mereka juga komunitas mereka sendiri. Jadi, teman-teman KPU mungkin karena sudah banyak terjejal berbagai macam aturan perlu merefresh diri, perlu bertemu, dengan teman-teman Generasi Z, sehingga bersama bisa diketahui dan digali kreativitasnya, seperti apa yang bisa dilakukan agar bisa masuk ke Generasi Z.  Karena saya yakin bahwa yang paling paham terkait dengan perilaku generasi Z dan bagaimana berkomunikasi dengan Gen Z adalah ke Generasi Z sendiri. Kemudian  keterampilan generasi Z ini sangat dekat dengan teknologi, jadi mereka ini lahir di era yang sudah sangat dekat dengan teknologi dengan media sosial, maka ayo gunakan kemampuan mereka ini untuk menggaet partisipasi pemilih, dengan cara mereka tetapi jangan lupa, Generasi Z yang akan kita jadikan sebagai agent pemilu dibekali dengan pengetahuan kepemiluan, sehingga mereka tidak salah memberikan informasi kepada teman-temannya. Kemudian juga ajak juga komunitas Generasi Z ini untuk lebih menseriuskan diri ketika bicara tentang Pemilu. Selama ini mereka mungkin kalau bicara Pemilu itu ogah ya? jauh dari rentang usia mereka, tapi bagaimana kemudian membuat Pemilu ini sesuatu yang menarik sesuai dengan trend usia mereka, apakah dibuat dalam bentuk komunitas, apakah dibuat dalam bentuk yang unik menyelami sesuai dengan jiwa-jiwa mereka. Begitu juga dengan gaya berkomunikasi bagaimana agar aturan peraturan KPU yang agak berat mungkin bahasanya, bisa tersampaikan kepada mereka itu dengan mudah dengan gaya bahasa mereka. Tentu harus melibatkan komunitas mereka itu kata kuncinya, sehingga Generasi Z ini bisa menjadi subjek dan objek dari Pemilu. Kemudian juga Generasi Z ini tidak anti politik karena selama ini saya lihat masih teman-teman banyak Generasi Z Itu beranggapan bahwa politik itu miliknya orang tua, berfikit bahwa politik itu punyanya Baby Boomers, padahal sebenarnya sebagai orang yang punya hak pilih saatnya mereka ikut menentukan daripada mereka terkena imbas yang tidak baik, mereka juga ikut menentukan dipilih dan memilih, serta juga untuk ikut memikirkan bagaimana program kerja yang terbaik sehingga pilihan yang nantinya dihasilkan dari Pemilu 2024 itu dapat memberikan imbas politik kepada mereka yang positif.”   Dr. Ni Wayan Widhiastini, S.Sos., M.Si Vice Rector for Academic Development, Undiknas University

Denpasar, bali.kpu.go.id - Pemilu sudah dekat, bagaimana kedewasaan demokrasi di Indonesia kembali diuji. Pemilu yang bertepatan dengan hari kasih sayang ini diharapkan membawa aura keteduhan. Kali ini, pesta demokrasi tahun 2024 tidak berlebihan bila dikatakan kualitasnya tergantung pada anak muda.  Hal ini dikarenakan anak muda merupakan ceruk terbesar dari pemilih di Indonesia. Bahkan mencapai 40% dari pemilih keseluruhan. Maka anak muda tidak berlebihan untuk disebutkan sebagai penanggungjawab kualitas demokrasi Indonesia. Pekerjaan rumah sekarang adalah bagaimana anak muda ini memaknai pemilu dan demokrasi atau politik pada umumnya.  Anak muda di beberapa riset selalu pada posisi antipasti dan tidak peduli terhadap politik. Nah bagaimana nanti kualitas demokrasi kita? Hasil riset Japelidi (jaringan pegiat literasi digital) pada tahun 2023 ini menggambarkan beberapa hal yang menarik. Anak Muda tercatat cukup aktif sebenarnya dalam mencari maupun terterpa informasi mengenai politik, permasalahannya kemana mereka mencari info atau dari mana mereka memperoleh informasi politik ini. Kita pahami bahwa sumber yang verified akan sebanding dengan kesahihan informasi yang terkonsumsi.  Data menunjukkan mereka cenderung mendapatkan informasi politik dari akun-akun media sosial yang bukan bergerak di bidang politik atau bahkan belum terverifikasi. Hanya segelintir anak muda yang memfollow akun penyelenggara seperti akun KPU atau Bawaslu di media sosial, bahkan hampir tidak ada yang memfollow akun partai politik. Berikutnya, data yang menunjukkan betapa mereka tidak cukup berpartisipasi dalam menyebarkan informasi mengenai pemilu inji. Sebagian besar responden anak muda ini tidak mengirimkan postingan terkait pemilu melalui percakapan pribadi atau membagikan ulang postingan terkait pemilu.  Data ini menunjukkan lampu merah untuk keadaan/bagaimana kualitas demokrasi kita nanti. Namun keadaan ini masih ada waktu untuk mengugah mereka untuk lebih banyak terlibat dan berpartisipasi dalam pemilu, khususnya dalan penyebaran informasi-informasi sahih terkait pemilu dan politik. Memang tidak mudah dalam melakukan pendekatan terhadap mereka yang anak muda ini. Penggunaan gaya bahasa yang berbeda serta pandangan mereka juga berbeda. Penyelenggara pemilu juga memerlukan kreatifitas untuk pendekatan kepada anak muda ini. Namun tidak hanya bisa diserahkan tanggungjawab ini sepenuhnya kepada penyelenggara, merupakan tugas semua pihak, kampus, sekolah, masyarakat sipil, LSM, organisasi masyarakat dan pemuda itu sendiri.  Anak muda bukan antipati namun belum terliterasi politik dengan cukup, jadi mari berikan informasi cerdas untuk demokrasi berkualitas. Anak muda bukan tidak ingin berpartisipasi, namun berikan mereka ruang kolaborasi antar mereka, maka mereka akan membangun demokrasi yang sesungguhnya. Seperti kata Bung Karno, berikan saya 10 pemuda maka akan kuguncang dunia. Selamat mejaga kualitas demokrasi Indonesia, anak muda. Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel